Widi Utami, Mengubah Halangan Menjadi Tantangan

 


Sebagaimana pada semua lawan bicara, kita harus bersikap santun. Itu adalah salah satu cara berterima kasih. Karena di setiap interaksi pasti ada hikmah kehidupan yang bisa kita tuai. Dengan memberi makna pada setiap perjumpaan, satu upaya saling mendukung telah terlaksana. Ini sesuai pula dengan ciri wanita, suka mendengar juga suka menyemangati. 

 

Adalah Widi Utami, seorang penyandang HoH, Hard of Hearing. Beliau adalah salah satu messenger alias pembawa pesan kedamaian dalam rangkaian Bootcamp Duta Inklusif yang digagas oleh Gerakan Ibu Inklusif. 



Wanita yang mengalami HoH sejak usia empat tahun ini memiliki sedikit sisa pendengaran. Beliau masih bisa mendengar suara keras seperti petir, knalpot sepeda yang keras. Mbak Widi tidak bisa mendengar suara yang pelan seperti rintik hujan dan dengungan nyamuk. 


Teman difabel Tuli atau HoH seperti mbak Widi sangat tergantung pada gerak mulut, namun kuat di visual. Karena itu butuh cara khusus untuk berbicara dengan mereka. Yaitu:

  1. Saat memanggil, sentuh pundaknya atau lambaikan tangan. Jangan panggil namanya dari jauh

  2. Alih-alih menaikkan volume, perjelas gerak bibir, pelankan kecepatan bicara saat berbicara dengan teman-teman HoH. Jika tetap tidak berhasil, gunakan komunikasi tulis. 

  3. Pastikan tempatnya terang.

 

Saat ada teman tuli/HoH di sekitar kita, 

  1. Sampaikan garis besar percakapan. Karena terkadang saat di acara yang banyak orang berbicara, mereka bingung memilih fokus mendengar/mengamati gerak bibir yang mana.

Tawarkan bantuan

  1. Misal saat kita melihat teman tuli/HoH melamun, tanyakan 'Apa yang bisa kami bantu?' Atau 'Apa yang bisa kami lakukan untukmu?

  2. Puji ayah/ibu tuli di hadapan anak-anak mereka. 

Bantu anak-anak mereka untuk bangga dengan orang tuanya. Terkadang teman tuli/HoH juga sering mengalami rasa ragu akan masa depan atau perasaan anaknya.

  1. Jadilah telinga bagi tetangga/teman tuli/HoH. Semisal beritahulah saat anak mereka menangis. Atau ketika hujan turun dan ada kran yang belum dimatikan. Karena mereka memang tidak/kurang mendengar.


Mbak Widi pernah mengalami hal yang tidak mengenakkan. Kala itu, beliau menyelesaikan gelar sarjana dengan baik. Beliau berniat untuk mengajar. Namun para guru tidak percaya bahwa mbak Widi bisa. Akhirnya mbak Widi berhenti berharap dan melakukan hal lain yang membuatnya bahagia. 


Sekarang mbak Widi terkenal sebagai blogger dan social media specialist. Beliau telah berproses untuk mengenali dirinya. Beliau sadar akan keterbatasannya. Banyak hal yang ingin dilakukan, namun tidak bisa dilakukan karena kondisinya. Untuk itu beliau menempatkan hal-hal yang tidak sesuai ini, dengan tegas beliau tinggalkan. Seperti pekerjaan mengajar atau pekerjaan yang diharuskan berkomunikasi melalui telepon.



Sedangkan hal- hal yang beliau bisa tapi tidak disenangi hanya dipelajari sekejap saja. Semisal public speaking dan analisis traffic media sosial. Nah, untuk hal yang mbak Widi suka dan kuasai akan dipelajarinya sampai pada taraf mahir. Seperti menulis, editing tulisan, sampai blogger. 


Melalui hasil tulisannya, mbak Widi juga sangat getol menyuarakan inklusivitas. Berbicara tentang kondisinya dan teman-teman tuli lainnya. Kekuatan beliau untuk mengembangkan diri sendiri dan orang lain ini tak lepas dari dukungan keluarga. Terutama suami. Seorang pria yang beliau sebut sebagai pemberani karena mau menikahi seorang wanita dengan disabilitas pendengaran.


Diambil dari akun Instagram miliknya, mbak Widi bercerita,


"... Alih-alih menyediakan blog yang sudah jadi untuk menampung tulisanku, ia 'memaksaku' untuk mencoba ngutak-atik sendiri dan baru turun tangan ketika aku sudah putus asa. Itu pun hanya diberi tahu langkah-langkahnya.


Aku sering bersungut-sungut, menuduhnya sangat tega karena tidak mau membantuku. Tahun berlalu, aku baru menyadari jika paksaannya kini membuatku mempunyai skill membangun blog yang selain mengisi waktu juga menambah uang jajanku.


Suami rasa coach yang menjadi kritikus tulisanku paling kejam. Aku pernah ngambek enggak mau menulis hingga berbulan-bulan lamanya karena kritikannya. Bertahun kemudian, aku baru menyadari sungguh memalukan tulisanku dulu.


Terimakasih sudah menggenggam tanganku untuk menjadi pribadi lebih baik di 2020."

Sumber: Instagram mbak Widi@widut92

Dari pernikahan mbak Widi dengan suaminya, lahirlah dua buah hati yang non difabel. Perjuangan seorang ibu HoH mengasuh anak non difabel memang butuh perjuangan dari keduanya. Baik ibu maupun sang anak. Dari video pendek yang disampaikan di awal acara, didapat bahwa bagaimanapun, sang anak tetap bangga pada ibunya. Tetap menyayangi ibunya. Meskipun terkadang si sulung yang berusia 5 tahun ini harus capek-capek berbicara dengan pelan berulangkali atau mengetikkan apa maunya, supaya ibu tahu apa maksudnya.


Adapun perjuangan yang mbak Widi pernah lakukan untuk menyadari keterbatasannya sebagai seorang ibu adalah:


  1. Sounding sejak anak masih di dalam kandungan. Dengan mengatakan berulangkali, kurang lebih seperti ini Membangun support system di dalam keluarga dan lingkungan terdekat. Semisal dengan suami, tetangga, dan saudara. Beliau meminta mereka untuk membantunya menjadi 'telinga'.

  2. Bangun lingkungan inklusif dari dalam keluarga kecil. Dengan mendidik anak-anak untuk bisa saling menghargai sesama. Juga, mengajak mereka datang ke acara-acara komunitas dan bertemu dengan orang yang memiliki cerita sama dengan ibunya.


Mbak Widi memberikan bukti bahwa semua orang itu sama. Punya kekurangan yang bisa diatasi dengan kelebihannya. Mampu mengubah rintangan menjadi tantangan. Mbak Widi yang penulis juga mampu menebar informasi tentang Disabilitas. Untuk menciptakan lingkungan inklusif yang harmonis. Saling menghargai, saling mendukung.



#gerakanibuinklusif

#Bootcampdutainklusif

#zona1materi2

#IP4ID2022

#womensupportwomen

#womenincooLABoration

Komentar

Postingan populer dari blog ini

No Hoax dengan Copywriting yang Optimal

5 Langkah Kecil Mewujudkan Lingkungan Inklusif

Lebih Mudah dan Murah, Cobalah Healing by Writing