Lebih Mudah dan Murah, Cobalah Healing by Writing

 



Pandemi membuat banyak orang merasa cemas, khawatir, dan takut. Bahkan ada yang marah juga sedih. Jadilah banyak yang mengalami sakit mental. Untuk melepas semua emosi negatif, merebaklah tren self healing. Ternyata menghilangkan emosi negatif bisa dengan menulis. Teknik menulis ekspresif namanya.


Memang sih, sekarang lebih terkenal berlibur untuk self healing. Atau shopping untuk self healing. Pasang di media sosial dengan bangga. Ini sama halnya dengan saat anak kita jatuh, menangis karena lututnya terluka. Kita justru memberinya es krim supaya berhenti menangis. Dengan begitu, apakah lututnya bisa sembuh? Tidak. Es krim hanya pengalih rasa. Sakit yang sebenarnya belum terobati. Begitu juga dengan rekreasi dan shopping. Mungkin mood kita bisa naik. Namun mental kita belum bisa lebih baik. Apalagi jika ternyata ada yang julid, mengomentari negatif dengan apa yang sudah kita pajang di media sosial tadi. Ambyar deh! 


Nah, sebagaimana Surayya Hayatussofiyah, seorang psikolog asal Samarinda sampaikan. Dalam tugas go live di hutan kupu kupu bunda cekatan, menulis bisa menjadi self healing. Benar- benar bisa menyembuhkan jiwa yang sakit. Bisa membuat kita tahu emosi diri dan cara me-realease emosi negatif yang muncul dalam diri. Karena pada dasarnya semua orang bisa menulis. Dan mudah. Tidak perlu bakat khusus dalam menulis untuk menyehatkan jiwa.


Terapi menulis ekspresif istilahnya, yang bisa membantu jiwa kita lebih tenang. Saat menulis, kita menuangkan pengalaman ekspresi emosi kita. Kita gali lebih dalam tentang apa yg kita rasakan. Akan lebih baik jika  menulis pada saat emosi itu kita rasakan. 


Adalah profesor James W. Pennebaker dari university of Texas. Semasa SMA beliau pernah mendapat trauma, yang hanya bisa dipendam tanpa mau diungkapkan. Kebetulan beliau juga penderita asma. Saat duduk di bangku perkuliahan, beliau yang mendalami ilmu psikologi ini merasakan emosi negatif dalam menjalani hari- hari. Traumanya terus membayangi. Beliau juga merasakan, kondisi penyakit yang terus memburuk.


Kemudian beliau mencoba menyalurkan perasaan, emosi, dan apa yang ada dalam pikirannya secara rutin melalui tulisan. Ternyata dia merasakan peningkatan kondisi kesehatan baik fisik maupun mentalnya. Ternyata semakin sering beliau melakukan terapi menulis ini, jiwanya semakin tenang dan bahagia. Ini juga berkolerasi dengan kesehatan raganya. Kemudian beliau pun mencoba melakukan penelitian mendalam tentang ini, hingga terciptalah teknik menulis ekspresif.

Beda dengan menulis biasa, inilah ciri khas menulis ekspresif.


  • Saat menulis ekspresif kita tulis apa adanya. Tidak perlu memperhatikan aturan dan kaidah berbahasa.

  • Fokus pada emosi yang kita rasakan, tuliskan sejujur- jujurnya tentang pikiran dan perasaan yang terlintas  

  • Tulis spesifik tentang emosi yang kita rasakan. Apakah kita marah, sedih, kecewa. Bukan hanya menceritakan kejadian yang kita alami, namun lebih pada menjelaskan apa yang kita rasakan

  • Menulis untuk diri sendiri, disimpan dan tidak dipublikasikan. Karena jika kita ada keinginan memajang hasil tulisan di media sosial, kita ingin looking good. Belum lagi jika ada komentar netizen yang julid. Ini justru akan membuat kita makin emosi. Bahkan bisa jadi kita ikut julid dengan membalas mereka.

  • Akan lebih baik jika menggunakan pena. Karena dengan memakai pena, motorik kita terangsang. Dengan begitu, bisa membantu kita menyalurkan emosi. 


Adapun cara menulis ekspresif untuk menyehatkan jiwa, sebagaimana yang disarankan profesor James Pennaker adalah:


  • Cari tempat dan waktu yang tepat

  • Jujur tentang perasaan

  • Menulis dengan bebas tanpa peduli kaidah

  • Sesuaikan dengan kemampuan

  • 15-30 menit minimal empat hari, setiap menjelang tidur

  • Gunakan pena/pensil dan kertas/buku. Bukan ponsel ataupun laptop

  • Menulis untuk diri sendiri, tidak untuk ditunjukkan orang lain atau dipasang di media sosial

  • Refleksikan mengapa merasakan emosi tertentu, terutama yang negatif. Untuk berjanji tidak mengulangi



Seandainya emosi belum reda, remas remas saja kertasnya dan buang ke tempat sampah. Pelan tapi pasti, emosi negatif akan menemukan tempat yang tepat. Setelahnya kita bisa merasa lebih plong, lebih ringan terasa. Healing yang lebih mudah dan murah, bukan?

Komentar

  1. Sepakat kak, menulis bisa menyembuhkan. Lebih sepakat, menulisnya di tempat yg asyik. he he ...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Dan saya sepakat jika hampir sebagian besar sudut kota Tuban itu mengasyikkan (modus pengen pulang :D)

      Terima kasih sudah mampir, Kakak

      Hapus
  2. Writing for healing memang benar adanyaa. Selain buat healing bisa buat move on juga. Haha. Biasanya saya kalau nonton film atau drama terus lamaa nggak move on, saya tulis aja reviewnya dan langsung lega..

    BalasHapus

Posting Komentar

Terima kasih atas tanggapannya :)

Postingan populer dari blog ini

No Hoax dengan Copywriting yang Optimal

5 Langkah Kecil Mewujudkan Lingkungan Inklusif