Tentang Kamu dan Kekuatanmu (Memasak/Membaca?)





Pembukaan

Aku baru saja menyelesaikan novel karya penulis favorit, yang berhasil mematahkan janjiku untuk tak menyentuh bacaan fiksi dewasa selama setahun ini. Adalah buku Tere Liye berjudul Tentang Kamu, hadiah dari teman yang setelah sadar telah membeli buku yang sudah dipunyainya kemudian menawarkan secara gratis padaku. Lima ratus halaman tentang seseorang bernama Sri Ningsih, kulahap dalam dua hari. Sebagaimana buku-buku sebelumnya, Tere Liye selalu mem-blow up keinginan menulisku. Kemudian mendesak-desak ingin segera dibeber, dieksekusi sebanyak-banyaknya. 

Nah, bisa dibayangkan, saat kita memiliki hasrat melakukan sesuatu, sangat ingin, namun waktu dan tenaga tak jua kompak memfasilitasi, geregetan kan yang muncul? Nah, mumpung dalam rangka tugas perkuliahan mengharuskan membuat tulisan, sedangkan buku bersampul biru ini masih saja membayangi kotak kata-kataku di otak, kuharap tulisan ini tak ikut biru namun sangat enak dibaca. Jika memang enak, ahh ada peluanglah aku untuk bisa menyusul debut penulis favoritku itu. Tolong di-aamiin-kan, ya!

((Terimakasih)) 

Baiklah.
Di awal perkuliahan untuk menyandang cekatan, aku sebagai ibu harus menganalisis diri sendiri. Melacak kekuatan. Ada lima poin yang harus kutentukan, dimana hal itu diumpamakan sebagai telur hijau. Telur hijau mewakili sesuatu yang menimbulkan binar. Cahaya kuat yang muncul dari kebahagiaan dan kebanggaan.

Sebenarnya, aku percaya diri sudah bisa menentukan apa saja telur hijau dalam diriku. Sesiapa yang mengenalku lebih dari dua tahun, mungkin juga akan menebak hal apa yang membuatku bahagia. Sesuatu yang aku bisa dan aku suka.

Literasi?
Ya.
Aku suka dan dengan percaya diri menyatakan, bahwa aku bisa berliterasi. Terutama membaca dan menulis.

Namun, apakah benar hanya membaca&menulis adalah aktivitas yang membuatku bahagia? Mari kita telisik lebih jauh, dari apa yang terjadi dalam hidupku selama sepekan ini. Anggap selama itu mewakili 36 tahun hidupku yang berlalu.




Membaca vs Memasak

Oke, Selasa malam (7 Desember 2021), pikiran ini heboh merangkai-rangkai kata. Sok-sok an menjadi Sri Ningsih yang diceritakan dalam novel sebagai wanita yang kuat, memeluk rasa sakit hati untuk kemudian melesat sebagai pribadi yang bermanfaat bagi sebanyak-banyak orang di sekitarnya. Ingin rasanya aku segera mengetik seperti saat ini (sebuah masa dimana gelap sebentar lagi digantikan oleh langit terang--jika hari ini cuaca sedang ingin cerah--. Sekejap. Karena kemudian aku harus bergelut dengan rutinitas harian). Tapi, anda tahu apa yang sedang kulakukan? 

Aku sedang berusaha nampak prima dan tak gentar. Di bawah dapur beratap asbes, membelakangi jendela lebar yang menampakkan hujan lebat, angin kencang, dan kilat yang seolah menyentuh tanah. Aku harus menunjukkan pada kedua putriku yang tak nyaman dengan suasana ini, bahwa everything gonna be alright. Sedangkan, karena hujan inipun, aku harus memasak sendiri makan malam untuk suami. Sebenarnya dia bilang tak apa tak makan. Namun entahlah. Entah karena Allah menyadarkan peran istri sangat berarti dari sosok Sri Ningsih di novel biru itu, ato dari almarhumah ibuku yang bila hujan, selalu memastikan semua anaknya baik-baik saja. 

Awalnya aku tahu di meja makan hanya ada nasi dan tumis kacang panjang plus ginseng Jawa, keduanya hasil memasak tadi pagi. Anak pertamaku mengaku kenyang karena makan siang terlalu sore. Sedangkan si bungsu baru saja makan dengan menu itu ditambah rempeyek buatan utinya. Rencanaku yang sedang malas ini, suami biarlah makan di rumah ibunya, seperti tadi siang. Sebab aku sendiri masih kenyang dengan alasan yang sama dengan si sulung. Dan juga karena di dapur tak ada bahan untuk memasak malam ini (sebenarnya ada sih, tapi kentang itu sudah kugadang-gadang menjadi sambal goreng di hari Kamis). Nah, hujan yang WOW di kala maghrib ini membuat rencanaku gagal. Aku tak bisa menyuruh suami ke rumah ibu mertua walau berjarak sekian meter saja. Akupun tak bisa sekedar membeli bahan sambal, menu darurat namun sukses menyikat bersih isi meja makan.

Maka, segera aku bangkit. Aku harus memastikan suamiku tidak tidur dengan perut lapar hanya karena istrinya ini malas-malasan. Bismillaah, ditemani irama air hujan yang menimpa atap dan selingan cahaya kilat yang sebenarnya membuatku takut, aku mencoba memasak tempe dan kentang. Ditambah seteko teh hangat. Ya Allah, segala puji hanya untuk-Mu.

Memasak yang syahdu kali ini ternyata membuatku terus berfikir. Dan bagai seorang Tere Liye yang sedang menjejalkan nilai-nilai kehidupan nan luhur di setiap babak cerita dalam novelnya, aku memaknai tiap cerita yang terjadi dalam hidupku. Hingga masa memasak selesai kemudian dilanjutkan mencuci piring, aku mendapat kesimpulan. Hidupku setahun ini tak seperti sebelum-sebelumnya.

Contoh nyata adalah tugas ini. Jika diberikan padaku tahun lalu atau sebelumnya, aku pasti dengan percaya diri menentukan apa yang aku suka dan aku bisa. Persis seperti di tahap perkuliahan awal di komunitas ini. Namun sekali lagi, tahun 2021 itu berbeda. Dan di titik ini, jika aku menuliskan hal yang sama dengan dulu, akan menyebabkan kekacauan. 

Menulis dan membaca ternyata bukan hal utama yang membuatku bahagia. Bahkan di beberapa kondisi, kedua hal ini justru membuatku merasa tertekan plus kehilangan semangat. 

Yah, contoh kecil adalah sore itu. Tahu kenapa aku bermalas-malasan hingga tak selera memasak untuk makan malam? Ya, aku sangat bersemangat ingin segera menyelesaikan cerita Sri Ningsih!
 
Aku bahagia sekali. Namun tidak dengan sekeliling. Aku bersuka cita saat terus menyelesaikan cerita namun pekerjaan lain terbengkalai sia-sia. Yah, untunglah Allah masih memberiku kesadaran untuk segera bangkit menghadapi kenyataan!

Maka, mari menelisik satu persatu hal selain membaca yang membuat aku bahagia. 

Pertama adalah pekerjaan dapur. Ya, memasak menjadi hal yang menantang bagiku. Dari aku yang kecilnya jarang betah di dapur, sekarang harus mampu bertahan untuk menghasilkan asupan. Dulu aku selalu bergantung pada tangan ibunda, bahkan sampai usia dewasa dan beranak dua, aku masih mengalami masa 'dimasakkan' mertua. Namun sekarang, aku sendiri yang berjuang menghasilkan makanan untuk keluarga. Yah, sesekali dibantu sulungku sih.

Ya, kubilang berjuang karena memang begitu adanya. Pertama adalah berjuang mematikan rasa malas dengan menilik kenyataan, 'whoii, Buk, terus anak-anak dan suamimu makan apa kalau kau tak masaaak?!' Kedua adalah belum lihainya aku memadu bumbu sehingga cocok di lidah. Terlalu lama menikmati hasil masakan mertua yang lezat, membuat anak-anak dan suami terbiasa dengan rasa yang nyaris sempurna. Padahal aku masih belajar dan berusaha keras tidak memakai bumbu tambahan sintetis dalam bentuk apapun, kebalikan dari mertua yang selalu menggunakan itu. Jadilah seringnya aku ketakutan di awal2, jangan2 masakanku ga habis😭. 

Padahal ternyata tidak. Entah karena takut aku ngambek, entah karena tidak ada pilihan lainnya, jadilah anak-anak dan suami oke-oke aja saat makan😀. Mereka hanya protes jika terlalu asyyyiiin atau kadang terasa tawar.

Tantangan ketiga adalah stok bahan. Aku sering bingung jika di dapur hanya ada bumbu, tidak ada sayuran ataupun bahan lauk. Karena tidak ada kulkas, jadi aku tak berani nyetok bahan masakan terlalu banyak. Takut sia-sia karena basi atau layu duluan. Walhasil sering mati kutu karena bingung mo masak apa. Untungnya, Allah masih memberi jalan keluar. Ada toko kelontong di dekat rumah. Ada pula kebun hasilku menanam yang sebagian tumbuhannya edible alias bisa dilahap. Sejak hari Minggu di periode tahap telur hijau sampai hari ini (Jumat), Alhamdulillah tiap hari aku mengolah hasil kulkas alam alias kebunku sendiri. Yeay!

Keempat adalah low budget. Beberapa kali sering ngebayangin masak beberapa menu dalam sekali makan. Tapi hey, lihatlah kenyataan! 'Kamu masih berjuang, Buk! Bersabarlah seperti anak-anak dan suamimu!' Ya, mereka oke2 saja jika jarang makan daging ayam ataupun daging, senang-senang saja jika terhidang menu tunggal di meja makan. Jadi ya, di sini aku harus kreatif menata keuangan. Tetap belanja sesuai budget namun perut kenyang badan sehat masih jadi patokan.

So, inilah tentang memasak. Rutinitas harian yang mau tak mau harus aku sukai dan aku kudu terus berusaha supaya bisa. Bahkan sekedar bagaimana menaburkan garam supaya masakan nikmat di lidah. Karena dengan masakanku, anak anak dan suami memperoleh energi untuk melakukan hal-hal baik di sepanjang hari-hari mereka. Aku teringat bagaimana anak gadisku kecanduan terong (hasil kebun) balado ala-ala ibuknya atau suami yang akhirnya tahu betapa nikmat makan tanpa sendok dan garpu karena seringnya makan sambal buatanku, rame-rame di ruang tamu sederhana kami.

So, let's put it into the 'green list'.

Lalu, apakah ini maksudnya memasak itu lebih unggul daripada membaca?
Tidak, tidak. Bukan begitu adanya. Membaca akan selalu membuatku bersinar bahagia. Sedangkan memasak pun begitu, terbukti dengan keberhasilan-keberhasilan kecil di tengah perjuangan-perjuangan hebat ku, yang bagi orang lain dianggap sepele. Toh aku suka membaca (mencari maksudnya) resep di internet sebelum memasak. Aku pun suka 'membaca' hikmah dan pelajaran di setiap aktivitas memasak, dimana hal itu justru menambah rasa bahwa diri ini berharga untuk keluarga❤️.

Menulis vs Berbisnis

Hari Rabu (8 Desember 2021) pagiku sedikit kacau. Jadi ceritanya, aku bangun pukul tiga seperti biasanya. Gegara masih kebawa semangat dalam kalimat-kalimat di novel Tentang Kamu, aku langsung meraih ponsel dan mengetik. Menulis panjang, tentang apa yang ada dalam pikiran. Ritual sepagi ini sudah menjadi jadwal, sebagai upaya mengambil jatah 'me time'. Ketika semua masih terlelap, aku merasa nyaman untuk 'berbinar'. Namun, saking asyiknya, aku menerjang tenggat waktu. Alih-alih sudah menuju dapur atau kamar mandi, aku masih menggebu menyelesaikan paragraf satu persatu. Memang molornya tidak signifikan. Tapi hal ini membuat aku memasak dan mengurus anak-anak dengan kecepatan penuh. Berani nyenggol? Semprottt!😡
Astaghfirullah..


Gegara menulis itu, akupun kehilangan waktu membantu suami merangkai dagangan. Untungnya kegiatan itu bisa kulakukan setelahnya. Sebab keberangkatan kami untuk kulakan mundur. Menunggu aku menyelesaikan 10 lembar barang dagangan. Apaan sih itu?

Oke, kujelaskan singkat ya. Bisnis yang sudah berjalan setahun lebih ini kami jalani berdua. Setelah suami memutuskan meninggalkan pekerjaannya yang lebih riskan dengan keburukan. Kami mengawalinya seiring dengan baru mulainya kami hidup sendiri, tidak berkumpul dengan orang tua.

Pastilah penyesuaian-penyesuaian menjadi hal yang mafhum. Benar-benar menyita tenaga, emosi, dan waktu. Kami yang biasa bekerja sendiri-sendiri, sekarang harus kompak mengurus bisnis demi tegaknya perekonomian keluarga.

Di bisnis ini kami memproduksi lembar per lembar mainan serba dua ribu. Satu lembar berisi lima puluh mainan anak-anak. Kemudian kami menitipkan produk kami ke warung/toko dengan sistem titip. Dibayar jika barang laku, saat kami mengantarkan lembar berikutnya.

Suami bertugas membuat lembaran dari terpal dan berkeliling menawarkan plus menarik pembayaran ke toko-toko. Sedangkan aku bertugas jaga kandang. Merangkai satu persatu mainan, dengan cara menjepret menggunakan staples. Sembari menyelesaikan urusan domestik rumah tangga pasti.

Konflik dan permasalahan datang silih berganti. Aku berkali-kali harus berusaha menata hati, menjaga kesehatan, dan memelihara emosi. Sampai sekarangpun aku dan suami terus berusaha menjalankan bisnis bersama, dengan berusaha agar urusan anak-anak dan rumah tangga tetap berjalan normal.

Sebal, sedih, bahkan marah pernah kurasakan dalam berbisnis model ini. Namun, alah cinta karena bisa, alah bisa karena biasa. Selain melihat pundi rupiah yang sedikit demi sedikit bisa memenuhi kebutuhan keluarga, ada kebahagiaan sederhana yang muncul melalui hikmah yang diresapi. Baik setelah hal yang menggembirakan maupun yang menjengkelkan. Aku tak lagi bingung dengan stok mainan untuk anak-anak, karena mereka bisa mengambil produk (tapi dengan syarat yang telah disepakati). Aku juga senang saat mendengar cerita suami tentang pelanggan-pelanggan yang turut merasakan laba penjualan produk kami. 

Akupun semakin lihai menjalankan tugas dalam bisnis dan terus berusaha memperbaiki keseimbangan dengan tugas utama sebagai ibu dan istri. 

Nah, karena fokus pada tugas dalam bisnis dan rumah, aku harus rela mengurangi jatah waktu menulis. Aku harus memastikan suami berangkat dengan membawa barang yang selesai kurangkai, sesuai kapasitas sepeda. Maka aku kesulitan mengasah kemampuan menulis. Sedih sih awalnya. Karena sebelumnya aku menganggap kebahagiaanku hanya dari menulis. Tapi ternyata tidak, kan? Dengan menjadi couplepreneur, aku juga bisa mencicipi rasa bahagia. Aktivitas menulis menjadi prioritas kesekian. Dan mengkhususkan waktu sebelum shubuh untuk merangkai kata-kata. 

Jadi, mari kita tulis 'being couplepreneur' untuk telur hijau terakhir yaa!

Penutup
Inilah ceritaku, tentang perjalanan sepekan melacak kekuatan. Memang aku tak sekuat Sri Ningsih dalam novel Tentang Kamu karya Tere Liye yang baru saja kuselesaikan. Namun aku ingin memiliki semangat sepertinya, selalu berusaha lebih cekatan, bermanfaat untuk sekitar, dan tak henti belajar. Aku juga ingin tetap dalam kesederhanaan untuk menemukan keistimewaan diri, layaknya tokoh utama berwatak tekun dan selalu jujur itu.

Membaca vs memasak?
Menulis vs berbisnis?
Mana yang kupilih?
Semuanya.
Asal aku mau terus berusaha memperbaiki diri. Supaya bahagia lebih banyak kurasa daripada penyesalan berkepanjangan.




Ohya, ada dua lagi telur hijau yang sejak awal sudah kutentukan. Karena memang keduanya tak diragukan lagi, bisa membuatku berpijar gembira. Yaitu belajar-mengajar dan berkomunitas.



Bismillahirrahmanirrahim, ku semakin siap melakukan petualangan!

#institutibuprofesional
#hutankupucekatan
#telurhijau
#lacakkekuatanmu
#jurnalmaintelurhijau

Komentar

Postingan populer dari blog ini

No Hoax dengan Copywriting yang Optimal

5 Langkah Kecil Mewujudkan Lingkungan Inklusif

Lebih Mudah dan Murah, Cobalah Healing by Writing