Saya Penyintas dan Saya Berdaya untuk Berkarya

 

Ada yang salah dengan sambungan sel-sel syaraf otak saya, hingga di awal tahun 2018 saya harus terbaring di rumah sakit selama empat hari. Pengalaman pertama kali opname itu memang sudah terlewati. Namun masih ada efek tak mengenakkan dalam raga ini.  Walau penyakit ini tak nampak nyata di badan, saya merasa kurang nyaman berinteraksi dengan orang. Selain memori yang teracak-acak hingga sebagian nampaknya hilang, saya mendapat kesulitan dalam berkomunikasi. Ingin mengutarakan, namun bingung menemukan kata yang pas. 

 

Apalagi jika kondisi ngedrop, pikiran seolah  'kosong'. Jauh skenario dari dialog yang terucap. Terkadang ingin mengucap satu kata, ternyata yang keluar justru kata lainnya. Ya Allah.

 Pun saat ingin menulis. sebelum sakit, kegemaran saya ini mampu mewujudkan kolaborasi apik antara otak dan tangan, sehingga ide mudah sekali dieksekusi jadi cerita. Kenyataan yang terpampang, setelah sembuh saya malah kesulitan. Padahal saya sedang mengikuti kuliah online menjadi penulis anak, juga sedang menantang diri untuk belajar mengilustrasi cerita anak dalam sebuah kelas daring, dan sedang mengambil bagian dalam kegiatan baca tulis dari komunitas literasi nasional.

 Hal ini diperparah dengan cara keluarga besar suami untuk menjaga saya. Penyakit yang menyerang syaraf otak saya ini memang diindikasi salah satu penyebabnya adalah interaksi dengan layar ponsel/laptop. Selain stres dan kecapekan (tidak ada yang bisa memastikan karena penyakit yang saya terima berjenis ‘tanpa pemicu pasti’ atau idiopatik). Sehingga mereka menerapkan aturan ketat berapa lama saya boleh bermain gawai dan menatap layar laptop.

Rasanya saya semakin tak bisa menerima semua ini. Yang raga rasa sudah cukup membuat nelangsa. Ini ditambah dengan larangan menulis itu. Bisakah anda bayangkan jika menyenangi suatu hal, namun banyak orang yang melarang?

Menangis jadi pilihan pertama bagi penyintas seperti saya ini. Namun kesedihan ini terhenti dengan pesan dari kedua orang tua saya nun jauh di bumi kelahiran. Bahwa saya harus menerima keadaan yang ada. Inilah salah satu rasa syukur dan sabar yang terpampang. Allah akan menyediakan balasan atas apa yang tak didapatkan di dunia, dengan yang lebih baik di akhirat. Satu lagi pesan keduanya, “Lihatlah anak-anakmu.”

Ya, dua orang putri berusia tujuh tahun dan setahun sebenarnya sedang menunggu semangat saya.  Saya kembali menangis untuk kemudian bangkit. Tahun pertama pasca sakit, saya memilih jeda. Meminta ijin pada pengampu  semua kelas daring yang saya ikuti. Kemudian saya benar-benar fokus ke dunia sekitar. Tak ringan memang. Olah rasa yang menguasai keseharian saya. Emosi sering teraduk, fisik terus menyesuaikan dengan perbaikan-perbaikan yang tak kasat mata. Kebiasaan barupun harus saya jalankan, semacam minum beberapa butir obat dua kali sehari dan kontrol rutin ke kota selama sekali dalam sebulan. Mengasuh dan mendidik anak saya jalankan seadanya. Saya seolah sedang  ingin menyelesaikan diri sendiri dulu.

Hingga akhirnya saya bertemu dengan komunitas ibu profesional. Saat tak sengaja mengintip beranda facebook di jam online. Sebenarnya saya sudah tahu kiprah komunitas ini sejak lama. Namun Allah baru menakdirkan saya bertemu sekarang. Merasa sudah menjalani ‘proses hibernasi’ yang panjang, saya menillai sendiri bahwa ada peningkatan kesehatan dalam diri ini. Sehingga dengan berani saya meminta ijin untuk menambah jam online pada suami. Dan alhamdulillah terkabulkan. Saya mengikuti kelas matrikulasi. Di sana saya bertemu dengan teman-teman baru. Dan berada di antara mereka, saya merasa papa. Banyak hal yang tak saya tahu. Sangat ketinggalan. Seolah saya benar-benar tidur panjang sebelumnya. Saya ingat waktu itu, untuk memasang foto di badge, seorang temanlah yang melakukan untuk saya. Padahal sebelum sakit saya juga lihai bermain desain digital.

wisuda matrikulasi 8 yang saya ikuti

Nekad menjadi MC walau masih dalam kondisi belum sempurna berbahasa. Bekalnya hanya, dulu juga sering manggung. berarti sekarang harus dicoba.. Ehehehe

Hingga akhirnya saya bisa menyelesaikan kelas matrikulasi meski tak maksimal. Kepalang tanggung, sudah masuk mari nyebur sekalian. Itu yang saya inginkan dalam komunitas baru ini. Jiwa gemar belajar dan berorganisasi ternyata masih bersemayam dalam raga yang mulai menguat ini. Saya memberanikan diri mengambil peran dalam kepanitiaan wisuda matrikulasi. Bahkan saya nekad mengiyakan tawaran menjadi pembawa acara. Dan saat acara berlangsung saya mengajak suami dan anak-anak. Saya berniat membuktikan bahwa saya berdaya, dan apa yang saya lakukan ada efek baiknya. Untuk saya dan keluarga.

Selain aktif di IP, saya juga diam-diam kembali meneruskan dinamika di kelas daring menulis dan mengilustrasi cerita anak. Dan di tahun kedua setelah opname, ketika saya merasa diri saya baik-baik saja, diperkuat dengan hasil konsultasi dengan dokter yang juga menurunkan dosis obat, saya dengan mantap merumuskan resolusi di awal tahun, akan berkarya sebanyak-banyaknya. Alhamdulillah, di tahun itu beberapa buku antologi terbit. Di dalamnya ada naskah yang saya tulis sebelum sakit. Ini menjadi pemicu bahwa saya harus menulis, menulis, dan menulis lagi! Harapan untuk menyebarkan manfaat melalui bahan bacaan anak akan tergapai jika saya mau berusaha.

Saya mengawali dengan mencari-cari info perlombaan dari genre tulisan yang saya dalami ini. Alhamdulillah, dari sekian banyak percobaan, beberapa menghasilkan prestasi. Saya menjadi semakin bangga saat menunjukkan pada keluarga, bahwa saya bisa. Dan semua aman-aman saja meski saya kembali menulis. Tak ada kata kambuh, bahkan sekedar serangan ringan semacam ‘nge-blank’ seperti saat baru saja keluar dari rumah sakit.

Salah satu buku yang memuat karya tulisan saya

Nah, memasuki tahun ketiga, saat saya mulai getol menulis dan mendapat kelonggaran untuk berkarya. Saat itu peran di komunitas IP semakin banyak pula yang saya ambil. Allah berkehendak lain. Awal tahun saya mulai mengalami serangan ringan lagi. Dan terjadi berkali-kali. Sebenarnya tak terima. Kadung intim dengan layar dan kesibukan bereksistensi, mau tak mau saya harus mengurangi semua itu. Balik lagi, ada dua putri yang membutuhkan ibunya.

Ya, saya bermuhasabah. Mungkin ini semacam teguran, bahwa saya terlalu sibuk dengan diri sendiri. Meski berlabel mengasah diri dan bertujuan untuk jadi pribadi bermanfaat, saya semestinya harus rela meninggalkan ini. Sebab ada peran yang lebih penting, yaitu sebagai ibu bagi putri-putri saya. Akhirnya saya kembali mengatur strategi. Menulis menjadi nomor kesekian. Sedangkan menjalankan peran di IP, ada di atasnya satu level. Kesehatan, keluarga, dan keuangan berurutan di posisi atas.

Waktu itu pandemi baru saja datang. Sehingga interaksi fisik dibatasi. Maka sayapun meminta pada suami untuk tetap diijinkan berdinamika di komunitas secara daring, dengan tetap memegang teguh prioritas. Sehingga saya rela mengurangi jatah mengetik dan menghasilkan tulisan, sebab kesibukan menjalankan peran di komunitas sudah menyedot waktu bergawai saya setiap hari. Biarlah, toh meski tak produktif menulis, saya masih bisa berkarya dengan pengabdian saya. Melayani sesama melalui ibu profesional. Benar-benar berkarya dari rumah untuk dunia, sebab banyak peluang menebarkan manfaat, berdampak lebih luas saat saya berada di IP. Mengikuti kegiatan yang terkoneksi dengan seluruh member dari berbagai belahan dunia dan sesekali melahirkan ide-ide baru untuk dieksekusi bersama teman se-regional. Dimana ketika terwujud, kegiatan tersebut membuka peluang untuk dirasakan oleh masyarakat luas. Alhamdulillah, di IP saya berhasil menjaga daya. Di sini pula saya semakin terasah untuk menghasilkan karya. IP yang akan mengadakan Konferensi Ibu Pembaharu pulalah yang mengajarkan saya strategi bijak untuk kembali menulis. Meski tak segetol tahun sebelumnya. Saya menggunakan pena dan kertas saat merumuskan kerangka tulisan, inilah yang dinamakan kretaif dan solutif. Saya memilih waktu yang tepat untuk memindahkannya di layar digital, inilah yang dinamakan kandang waktu. Ya, dua hal ini hanya sebagian kecil ciri khas yang ditanamkan di Komunitas Ibu Profesional. 

Beberapa karya saya berbentuk 'pengabdian' di IP regional Jember Raya
(dan dunia)


 

 Nah, di akhir cerita fase hidup saya ini, berikut adalah rangkuman poin-poin yang saya gunakan untuk mengubah masalah menjadi tantangan bagi seorang penyintas sebuah penyakit:

  1. Menerima fase sakit sebagai anugrah dari Allah. Menjaga keikhlasan dalam setiap kondisi adalah salah satu muaranya. Sebab sakit bisa jadi penggugur dosa.

"Tidaklah seorang muslim yang tertusuk duri atau yang lebih ringan (sakitnya) darinya, kecuali dicatat baginya derajat dan dihapus darinya dengan hal itu kesalahan (HR Muslim)".

2.        Temukan ‘strong why’ untuk kembali berdaya 

3.       Cari kekuatan dari orang-orang terdekat. Saya mendapatkannya dari kedua orang tua saya, yang ternyata sesuai dengan perkataan Imam Nawawi rahimahullah dalam Syarh Shahih Muslim berikut:

“Orang mukmin juga diperintah untuk melakukan ketaatan. Bersabar atas ujian kenikmatan dan kesengsaraan. Ketika ia mati, barulah ia rehat dari hal itu. Kemudian ia akan memperoleh apa yang telah Allah SWT janjikan dengan kenikmatan akhirat yang kekal, mendapati peristirahatan yang jauh dari sifat kurang."

4.       Suami selaku pemimpin juga ambil andil dalam menjaga kedisplinan dalam manajemen waktu, emosi, serta kesehatan raga. 

5.       Tentukan lingkungan berkembang yang kondusif. Salah satunya adalah dengan berkomunitas. Pilih komunitas yang PAS (membuat kita semakin ((P))rodukif menghasilkan banyak hal bermanfaat, menjadikan kita semakin ((A))syik dan bahagia menjalankan peran.Syarat terakhir adalah komunitas yang  memegang teguh adab  ((S))osialisasi, menjadikan kita merasa aman kala berdinamika bersama). Saya merasakan, komunitas Ibu profesional adalah salah satu komunitas yang pas untuk saya belajar, berkembang, berkarya, berbagi, dan berdampak 

6.       Harus kreatif dan solutif. Keterbatasan jadikan sebuah tantangan. Semisal saya yang tak bisa maksimal menatap layar untuk bermedia sosial, bisa menggunakan piranti lain untuk menuliskan buah pikiran. Bisa menggunakan cara lain untuk berinteraksi. Pasti anda, yang dikaruniai kelebihan dalam hal ini, akan lebih kreatif bin solutif.

7.       Saat daya melemah, ambil jeda. Refreshing dengan melakukan hal lain. Kemudian kembalilah melihat ‘strong why’ kita . Yaitu sebab apa kita berdaya dan mengapa kita harus berkarya

 

Tulisan ini dibuat untuk mengikuti Sayembara Catatan Perempuan yang diadakan oleh Ibu Profesional, sebagai rangkaian acara dari Konferensi Ibu Pembaharu. Saya menuliskannya dengan bahagia, secara bertahap. Pertama dengan merumuskan konsepnya di sebuah buku. Kemudian mulai menuliskannya menggunakan ponsel non-android (HP tulalit jadul bahasa kerennya) saat mengantri pada jadwal kontrol bulanan (Ponsel android saya rusak -_-). Terakhir, menyempurnakannya di komputer tua (laptop saya sudah mati seiring dengan keputusan mengurangi aktivitas menghasilkan karya tulisan) di jam jatah mengetik, sepertiga malam terakhir. Semoga memberi manfaat untuk anda yang membacanya. Terima kasih!

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

No Hoax dengan Copywriting yang Optimal

5 Langkah Kecil Mewujudkan Lingkungan Inklusif

Lebih Mudah dan Murah, Cobalah Healing by Writing