Saatnya Menyelami Samudra Sikap

 

 

Bismillaahirrohmaanirrohiim.

Alhamdulillaahirobbil ‘alamiin.

Masih dalam nuansa pergantian tahun hijriyah, Allah memberi saya waktu saat ini, di penghujung malam yang siap menyambut pagi. Sebuah tugas dari perkuliahan virtual yang harus diselesaikan segera ini, membuat saya bermuhasabah. Sudah saya gunakan untuk apa waktu saya selama ini?

Sebelum memberi tugas, seperti biasa, ada pengantar bijak dari fasilitator belajar. Kali ini tentang kerangka berfikir khas seorang ibu profesional.

Sebelum tercipta sebuah kerangka berfikir, seorang ibu perlu melihat realita dan memahami pengalaman dalam hidupnya. Dari sana akan lahir ide dan kesimpulan untuk dirumuskan menjadi kerangka berfikir. Jika kerangka berfikir ini baik, maka terciptalah tingkah laku yang baik, bermanfaat, dan bermartabat. Apabila ternyata tingkah lakunya kurang indah, bisa disimpulkan ada sesuatu yang salah dalam proses berfikirnya.

Institut Ibu Profesional sebagai komunitas yang beranggotakan para wanita dari berbagai latar belakang, juga telah merumuskan kerangka berfikirnya.

 
 

Institut Ibu Profesional sebagai komunitas yang beranggotakan para wanita dari berbagai latar belakang, juga telah merumuskan kerangka berfikirnya.

Kerangka berfikir ini dilambangkan dalam dua piramida yang saling menyokong. Piramida bawah adalah sarana belajar di dalam institut. Terdiri dari:

1. Jaringan kemandirian perempuan

2. Revitalisasi makna ibu

3. Pengembangan sarana ibu profesional

4. Pendidikan dan pelatihan ibu profesional.

Sedangkan piramida atas merupakan output yang diharapkan setelah menggunakan sarana belajar yang ada. Yaitu:

1. Hebat mengelola keluarga

2. Percaya diri

3. Mampu mendidik anak dan mengembangkan anak

4. Terus menerus mengembangkan diri

Jika semua poin berjalan dengan baik, insyaaAllah akan lahir akhlak mulia dalam diri tiap member.

IIP adalah oase segar di tengah kehausan perjalanan di gurun. Jaket tebal nan hangat di tengah badai salju yang menghempas. IIP hadir dalam kehidupan saya kala badai itu datang. Cobaan berat dalam pribadi saya. Ketika kepercayaan diri benar-benar hilang, kesempatan mengembangkan diri sirna, dan kurang dipercayanya saya dalam mengelola keluarga dan mendidik anak sendiri. Ditambah dengan kenyataan kenangan-kenangan masa lalu harus lenyap gegara ingatan yang melemah. Di sisi lain, saya pun hidup di lingkungan yang sangat tidak diharapkan.

Saya seperti nge-blank. Berjalan tak tahu arah, menjalani hidup seperlunya. Tanpa semangat. Beruntung Allah masih mengirimkan keluarga besar dan teman-teman dari daerah asal saya, yang bisa dihubungi secara daring dengan mudah. Hingga suatu ketika saya mendapat informasi tentang IIP regional di kota saya. Sebenarnya saya dulu pernah tahu tentang IIP, namun tidak segera mendaftar. Karena itu tak perlu lama, gelora cinta belajar saya harus segera tersalurkan!

Hingga akhirnya matrikulasi memoles saya untuk lebih baik. Di sana saya mendapat banyak sentuhan yang mengoyak ‘sok merana’ dalam diri ini. Ternyata saya masih punya potensi, saya masih memiliki aji, saya masih bisa bereksplorasi, dan saya masih berkesempatan berprestasi. Meskipun saat itu saya masih tidak leluasa mengikuti kelas, karena akses piranti dan kesempatan berdinamika di kelas sangat dibatasi oleh keluarga.

Kehangatan teman-teman sekelas terus memberi saya semangat. Agar tak mudah mutung. Maka sayapun berjalan menerabas halangan dan alhamdulillah lulus, diwisuda dalam ajang yang mendebarkan. Saya diberi kesempatan untuk kembali nge-MC, di hadapan anak dan suami. Bertemu dengan teman-teman serta pendahulu yang ternyata masyaaAllah, hebat-hebat. 

 

Sayapun makin percaya diri dengan diri ini. Tak enggan menggali potensi dan merapal janji untuk lebih baik. Saat sang pemegang kunci, yaitu suami, merelakan saya berproses memperbaiki diri dengan penuh ‘kata tapi’, saya bahagia. Saya ikut berbagai kelas pengembangan diri sesuai potensi. Sembari terus berusaha menerapkan apa yang telah saya dapat dari IIP. Semisal berusaha menggunakan kandang waktu, senantiasa bermanfaat, membangun komunikasi dengan baik, dan lainnya.

Hingga akhirnya saya memberanikan diri mengambil peran melayani di IP Regional yang saya ikuti. Saya memilih peran sebagai pengurus, dimana ternyata membuat saya makin tenggelam dengan keasyikan mengaktualisasikan diri. Maka saya pun punya mimpi, selain untuk terus memperbaiki diri, saya juga ingin terus memperbaiki lingkungan.

 

Ketika menjadi bagian kepengurusan, saya bertemu dengan teman-teman yang semakin brilian pemikiran dan akhlaknya. Dari mereka saya menyerap semangat dan kekuatan. Saya benar-benar mendulang nilai moral dari struktur yang ada, baik di regional maupun lintas sesama peran sebagai manajer operasional institut. Saya terus berusaha memantaskan diri untuk ber-karakter moral khas IP (baca lebih lengkapnya di https://www.instagram.com/p/CD9Io7hA5sW/?utm_source=ig_web_copy_link ). Tak cukup di IP, dengan semangat saya makin sering mengikuti kulwap, kursus online dan lain sebagainya. Semua dengan alasan, sebagai tempat ‘bersenang-senang’ dalam belajar. 

 

Namun di sisi lain, lambat laun saya menyadari. Hidup saya telah menjadi tidak seimbang. Saya semakin sering masuk ke dunia maya (Bertepatan dengan pandemi juga). Bahkan kadang saya berani memfokuskan hampir tiap waktu untuk memikirkan urusan saya saja. Kadang untuk sekedar membuang jengkel, saya melarutkan diri dalam tugas-tugas online. Meskipun tetap, saya mematuhi kandang waktu menghadap laptop adalah hanya saat anak dan suami tidur.

Awalnya saya senang, anak-anak semakin bisa ditinggal ibunya untuk sibuk sendiri. Si kecil mampu menggelar mainannya sendiri, asyik bermain dengan teman-temannya. Si sulung asyik menonton teve atau bermain game sendiri. Syukurlah, nak. Ibu bisa menulis, ibu bisa mengerjakan tugas, ibu bisa terus mengasah diri. Itu perasaan saya pada awalnya. Namun hey! Suami akhirnya jengah dengan kecuekan saya! Benar saya telah menjalankan kewajiban, namun sekedar selesai. Kamar bersih namun tak rapi. Anak-anak jadi asyik bermain tak tentu arah. Saya hanya meringis.

Benar juga.

Saya memang bisa jadi makin cemerlang. Namun anak-anak semakin ‘tak terkendali’. Saya merasa bersalah. Sebelumnya saya menuduh pihak lainlah yang membuat perubahan sikap anak-anak yang memburuk. Ternyata, setelah menyelami diri, bermuhasabah kadang dalam tangis, ternyata sayalah penyebab utama ketidak nyamanan ini. Saya sok mengasah diri, namun saya acuh pada perbaikan keluarga. Saya sudah tidak adil pada mereka. Hiks...

Atas kenaifan itu, saya sempat tidak berani mengikuti perkuliahan bunda sayang. Saya benar-benar merasa tidak profesional.

.

Namun teman-teman di IP terus menyemangati. Termasuk gara-gara tidak putusnya saya melakukan peran di kepengurusana, yang mengharuskan saya menyimak tugas-tugas teman-teman yang berkuliah, juga terlibat langsung dalam dinamika kelas. Hingga akhirnya saya memberanikan diri untuk mendaftar. Karena saya ingin berubah. Saya ingin balance antara pemenuhan mengembangkan diri dan pemenuhan mengembangkan diri keluarga.

Pun saya ingin membuktikan pada sekeliling, bahwa apa yang saya lakukan benar. Tak lagi dianggap sok pintar ataupun sok sibuk. Apa syaratnya? Berubah. Disiplin. Lalu memupuk support system (Dalam hal ini adalah suami) agar terus menguatkan saya, menggiring saya tetap lurus dan bahagia.

Satu lagi, dengan tetap belajar di IP, saya ingin mencari bekal. Agar ke depannya, saat benar-benar hidup mandiri, saya bisa memanajemen keluarga dengan sebaik-baiknya. Sesuai ajaran agama dan berdasarkan karakter moral Institut Ibu Profesional.

 

 

Jember, Ahad shubuh 23 Agustus 2020

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

No Hoax dengan Copywriting yang Optimal

5 Langkah Kecil Mewujudkan Lingkungan Inklusif

Lebih Mudah dan Murah, Cobalah Healing by Writing