Penjaga Kayu

www.jurnalcianjurselatan.com


Allah adalah sebaik-baik penjaga. Allah pula sebaik-baik tempat meminta. Sekecil apapun itu, kita harus percaya lalu melakukannya. Anak-anak dalam cerita di bawah telah membuktikannya.

---

Tumben. Biasanya para ikhwan yang menghilang di jam-jam selesai istirahat. Namun kali ini, para akhwat yang tak berada di kelas. Beberapa cara kugunakan untuk meraih dunia mereka dan kuajak berenang-renang, menggapai apa yang telah kurencanakan untuk mereka hari ini. Dengan memanggil, e, ternyata yang ikhwan udah lari kea rah lain. Dengan bintang, sama aja. Tidak ada yang tertarik siang itu.

Akhirnya aku merelakan para ikhwan yang mulai menghilang (tar pasti balik lagi ke kandang!) dan memilih menghampiri para akhwat yang sedang bermain di gubug..

Belum sampai di gubug, beberapa gadis kecilku melapor,
“Ustadzah, melati sama mbak ayu bertengkar!”
“Loh, kenapa?”
“Ndak tau, mereka berdua sama-sama nangis”

Fyuh… Sungguh ‘menantang’ siang ini! Akhirnya kuhampiri keduanya, dan kuminta mereka menceritakan masalahnya. Ternyata hanya salah faham saja. Kugiring mereka ke kelas, pasti yang lainnya ikut!

Eiya! Yang lain pada ikut! Ciri khas mereka memang, ketika ada yang menangis, pasti langsung dikerubungi dan dihibur. Celetukan si Safin di perjalanan pulang ke kelas, sedikit menurunkan ‘tensi’..

“Iki tukaran opo tujuhbelas agustusan to?” (ini bertengkar apa acara tujuh belas agustus?)
“Maksudnya apa, Fin?” bener-bener aku tidak nyambung. Beberapa detik berlalu, tetap aku tak bisa menyambungkan arti bertengkar dengan agustusan…
“Kalo tujuhbelasan kan pasang-pasangan!”
Oooo… ternyata, setelah kukonfirmasi sekali lagi, maksud si Safin, yang nangis kan dua. Nah, biasanya kalo agustusan tu ada karnaval yang dipasang-pasangkan. Pengantin adat contohnya.
---
Kembali ke kelas. Belum jenak mereka di kelas, dua gadis cantik seperti teringat sesuatu!

“Eh, lupa! Kayunya nenek tadi kan harus kita jaga!” teriak si Zsa-zsa.
“Oiya, lupa!” sahut si Friesa.
Baru aku mau menahan, beberapa akhwat keluar lagi.
Duh.

Aku teringat dengan kayu yang ditinggal seorang nenek kemarin lusa. Dari cerita para akhwat, waktu itu si nenek harus melanjutkan pencarian kayu. Karena terlalu berat bawanya, beberapa batang kayu ditinggal di bawah gubug sekolah. Waktu itu, kesembilan akhwatku sedang asyik bermain. Entah bagaimana ceritanya, hingga ketika aku menghampiri di tengah perjalananku ke parkiran, mereka bilang jika mereka dititipi kayu oleh si nenek, dan mereka harus menjaganya dengan baik. Okelah. Acara kali itu bisa dipindah ke gubug, dan para calon pejuang Islam penerus Sumayyah bisa siji gawe loro gawe, menyelesaikan tugas sekaligus menjalankan amanah.
Namun, kali ini beda. Semua siswa harus hadir di kelas untuk berlatih mengoperasikan power point. Ya, besok mereka harus melakoni tantangan paling seru, presentasi proyek akhir, menggunakan power point, di hadapan orang tua dan asatidz.
“Kak, ayolah balik ke kelas.” Kataku tidak sabar saat sampai di tempat mereka menjaga kayu untuk kedua kalinya.
“Tidak us. Kita mau menjaga kayunya nenek”
Masya Alloh, apalagi yang harus kuusahakan agar mereka mau berlatih…
Akhirnya, terlontar kalimat spontan yang akupun tak tahu, tepat tidak disampaikan..
“Kak, bukan begitu cara menolong orang lain! Dengan mengabaikan tugasnya sendiri. Sudahlah kak, biar Alloh yang menjaga kayu itu.”
Astaghfirulloh, ampuni aku jika kalimatku tadi tidak benar..
“Masa kok Alloh disuruh-suruh, us!” sahut si pemimpin, Zsa-zsa, dan dibenarkan yang lain.
“Bukan begitu. Alloh akan menjaga kayu itu lebih dari jika kakak yang menjaga”
Akhirnya, berlarilah mereka di belakangku.

Ternyata si Friesa berhenti sejenak, kemudian beberapa akhwat mengikuti tindakannya, mengangkat tangan serta berbisik..

“Doa apa, kak?” tanyaku..
“Ndak, us…”
Meskipun mereka tak jawab, panggilan mereka pada teman-teman yang sudah duluan berlari di depan, membuat aku tahu..
“Hei, kalian ndak berdoa biar Alloh menjaga kayu si nenek?”


Luluh lantak juga egoku sebagai seorang dewasa yang merasa berhak menguasai mereka! Masih ada Alloh yang berhak menggerakkan jiwa-jiwa suci itu. Dari kejadian di atas, akupun malu telah lupa menghadirkan sang Maha Penjaga, dalam fase hidup sebentar sekalipun.

21 Juni 2009

sumber dari blog kenangan: selaluriang.blogspot.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

No Hoax dengan Copywriting yang Optimal

5 Langkah Kecil Mewujudkan Lingkungan Inklusif

Lebih Mudah dan Murah, Cobalah Healing by Writing